Pontianak, Mitra Hukum Bhayangkara
Pernyataan Ketua Persatuan Orang Melayu (POM) Kalimantan Barat, Agus Setiadi, dalam menanggapi kasus dugaan korupsi proyek di PUPR Kabupaten Mempawah justru menambah keruh suasana.
Dengan baju khas Melayu, Agus dinilai publik tengah
memainkan simbol identitas sebagai “tameng” untuk mengalihkan fokus dari substansi persoalan hukum yang menjerat nama Gubernur Kalbar, Ria Norsan.
Publik tidak melihat sikap Agus sebagai imbauan moral, melainkan sebagai gestur politik-kultural yang sarat pesan terselubung. Bagi banyak pihak, pilihan Agus mengenakan baju Melayu dalam momentum krusial itu bukanlah kebetulan. Pesan simbolik tersebut seolah menanamkan kesan bahwa kritik terhadap pejabat yang terjerat kasus identik dengan kritik terhadap komunitas Melayu. Cara ini dinilai publik berbahaya: menggeser isu korupsi menjadi isu etnisitas.
“Ini rasisme halus. Korupsi adalah kejahatan hukum, bukan soal suku. Mengaitkan penindakan hukum dengan identitas budaya hanya akan menimbulkan perpecahan,” ujar seorang pengamat sosial-politik di Pontianak.
Simbol Budaya Dijadikan Perisai
Korupsi, dalam pandangan publik, adalah extraordinary crime yang merusak sendi-sendi keadilan dan kesejahteraan. Karenanya, masyarakat menilai sangat tidak etis jika simbol budaya dipakai sebagai perisai kepentingan elit.
“Dugaan korupsi tidak ada hubungannya dengan identitas etnis. Kalau ada tokoh terseret, itu urusan pribadi dan harus dipertanggungjawabkan. Membawa simbol Melayu ke ranah hukum sama saja dengan manipulasi narasi. Ini bisa membelah masyarakat,” tegas pengamat tersebut.






