Pada tragedi ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massa, terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.
Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan “Milik pribumi” atau “Pro-reformasi”. Sebagian masyarakat mengasosiasikan peristiwa ini dengan peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal yang sistematis atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.
Sampai 20 tahun peristiwa tersebut berlalu Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus pemerkosaan tersebut, namun pernyataan ini dibantah oleh banyak pihak.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun umumnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian (genosida) terhadap orang Tionghoa, walaupun masih menjadi kontroversi apakah kejadian ini merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau perkembangan provokasi di kalangan tertentu hingga menyebar ke masyarakat.
Melihat hal tersebut lirik akhir dari lagu “Hitam” semakin relevan
“14598
Tangisan yang semakin sunyi
Kuasa yang semakin membungkam
Keadilan yang semakin terpingirkan”
Mengenang 20 Tahun Tragedi Mei 1998
“…. Masih adakah rasa…
Memanusiakan manusia
Masih adakah rasa…..
Hargai perbedaan
Lawan… Lawan… Lawan!!!”
Itu adalah potongan lirik dari lagu Thrash Metal yang berjudul “Hitam”. Lagu yang memang didedikasikan untuk Tragedi Mei 1998. Lagu itu sendiri menceritakan bagaimana seseorang yang berjalan mengelilingi kota Jakarta pada tanggal 14 Mei 1998, dimana saat itu sedang terjadi kerusuhan yang melanda Jakarta dan kota –kota lain di Indonesia. Seorang yang sebenarnya ingin menghentikan penjarahan, dan kekejaman terhadap saudara yang berbeda, namun tidak berdaya dan hanya bisa menyaksikan semua kejadian.
Tragedi Mei 1998adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei–15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Dan penurunan jabatan Presiden Soeharto