Purwakarta, 21/09/25-Mitra Hukum Bhayangkara
Ir. Zaenal Abidin, MP., Ketua Komunitas Madani Purwakarta (KMP) menyoroti istilah “sisa hutang DBHP” yang baru-baru ini digunakan dalam pemberitaan publik hal tersebut merupakan tafsir menyesatkan, bahkan berpotensi menjadi bentuk pola impunitas struktural.
“Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) periode 2016–2018 sebesar Rp71,7 Miliar bukanlah hutang daerah, melainkan wajib transfer dari Pemkab ke Desa yang dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan,” jelasnya.
“Konstitusi UUD 1945, UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, secara tegas menyebut bahwa DBHP merupakan hak masyarakat Desa. Dana tersebut harus disalurkan tepat waktu dan tepat jumlah, bukan bersifat diskresioner atau hibah yang bisa ditunda sesuka hati kepala daerah.
“Dengan demikian, klaim Pemkab bahwa DBHP 2016-2018 yang tidak disalurkan dianggap sebagai “hutang” adalah tafsir yang keliru. DBHP bukan utang daerah yang bisa dicicil kapan saja, melainkan hak masyarakat desa yang wajib disalurkan pada tahun anggaran berjalan.
Tidak disalurkannya DBHP 2016–2018 jelas merupakan bentuk:
- Penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) oleh kepala daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah (Pasal 3 UU Tipikor).
- Perbuatan melawan hukum dalam pengelolaan APBD (Pasal 2 UU Tipikor).
- Sarat potensi korupsi, apabila dana tersebut dialihkan, diputar, atau dipakai untuk belanja lain di luar hak desa.
Pertanyaan krusial yang hingga kini belum dijawab secara transparan adalah:
Ke mana mengalir DBHP Rp71,7 Miliar tahun 2016–2018?
“Pernyataan resmi maupun pemberitaan yang menyebut bahwa “sisa hutang DBHP akan dilunasi tahun 2025” justru mengindikasikan adanya gejala impunitas struktural. Bahasa “hutang” dipakai untuk menutupi pelanggaran hukum yang seharusnya ditindak sebagai dugaan tindak pidana korupsi.






