Bekasi – Industri baja memiliki peran strategis sebagai “mother of industries” yang berproduksi untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan sektor industri lainnya. Berbagai pengguna bahan baku baja tersebut, antara lain sektor konstruksi, alat transportasi, alat berat, elektronik, alat pertahanan, dan lain sebagainya.
“Pemerintah Indonesia memberikan perhatian penuh terhadap sektor industri logam. Di triwulan I -2022, sektor industri logam mencatatkan pertumbuhan 7,9%, atau mendekati 8%. Ini suatu hal yang sangat menggembirakan, apalagi bila dibandingkan dengan kondisi sebelumnya ketika sektor ini mengalami kontraksi sebesar 0,49%,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Cikarang Barat, Bekasi.
Melihat angka tersebut, menandakan industri kian positif. Pertumbuhan positif ini juga didorong oleh kinerja perdagangan besi baja. Pada tahun 2021, neraca perdagangan besi dan baja (Kode HS 72) mengalami surplus sebesar 342 ribu ton. Peningkatan ekspor dari tahun 2020 ke 2021 sebesar 51,8%, sedangkan peningkatan ekspor dari tahun 2019 ke 2021 adalah sebesar 133,6%. “Pertumbuhan ekspor yang baik ini menunjukkan resiliensi industri baja kita dalam rangka pemulihan ekonomi nasional,” ungkap Agus.
Sementara itu, realisasi investasi sektor industri logam dasar selama Januari-Maret 2022 sebesar Rp40,18 triliun, yang terdiri dari Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp37,5triliun dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp2,68triliun. “Kami berharap, capaian ini mampu menjadi sinyal positif terlepasnya Indonesia dari dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19,” tegas Agus.
Agus pun optimistis, produk-produk dalam negeri dari industri baja saat ini sudah mampu berkompetisi dengan produk impor dan berdaya saing di pasar global. “Oleh karena itu, kami proaktif untuk terus mengoptimalkan penggunaan produk besi dan baja dalam negeri, khsususnya dalam pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, daerah, hingga BUMN,”ungkap Agus.
Ke depan, lanjut Agus, pemerintah mengharapkan partisipasi para pelaku usaha dalam membangun dan memenuhi rantai pasok baja hulu dimulai dari proses iron making dan steel making sehingga dapat menghasilkan bahan baku yang murah dan berkualitas. Hal ini agar membawa manfaat bagi pendalaman struktur industri hilir melalui inovasi sesuai kebutuhan pengguna.
Terlebih, Indonesia telah menginisiasi peta jalan Making Indonesia 4.0 untuk akselerasi penerapan industri 4.0, dan sudah banyak diadaptasi oleh berbagai sektor industri, termasuk industri baja. “Diharapkan dari sektor hulu hingga hilirnya harus menjadi leader dalam peningkatan inovasi serta kemampuan bagi industri penggunanya,” ujar Agus.
Agus menegaskan, pemerintah bertekad untuk mendukung investasi dan inovasi dalam pemenuhan struktur pohon industri baja, dengan produk hulu sebagai bahan baku hingga produk hilir yang tinggi inovasi yang terpenuhi dalam harmonisasi supply-demand baja nasional.
“Untuk itu, pemerintah telah menyusun kebijakan pengembangan industri nasional sesuai dengan Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035, yang saat ini telah memasuki tahap kedua tahun 2020-2024 dengan target kapasitas baja nasional sebesar 17 juta ton,” ungkap Agus.
Agus menyebutkan, sejumlah kebijakan strategis lainnya, antara lain penerapan standar produk yang selalu diperbarui sesuai kemampuan industri dan kebutuhan pengguna. Saat ini, untuk produk logam telah diberlakukan sebanyak 28 SNI secara wajib.
Selain itu, pengoptimalan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) di lintas sektor, penetapan trade remedies melalui pertimbangan rantai pasok industri hulu hingga hilir, serta dukungan ekspor. “Pemerintah juga menetapkan berbagai insentif untuk mendukung pertumbuhan industri, di antaranya pengurangan harga gas industri, tax allowance dan tax holliday,” ujar Agus.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier pun mengatakan bahwa tahun 2020 merupakan lembaran baru bagi industri baja nasional. Sebab, Indonesia berhasil menekan impor baja hingga 34% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Kita berhasil menekan impor sebesar 34%, di mana sebelumnya di tahun 2019, 2018, dan 2017 itu sering diwarnai banjir impor. Karena apa? kami menegakkan kebijakan yang tepat, dengan mengatur supply and demand secara smart, terstruktur dan sesuai dengan kapasitas industri nasional,” jelas Taufiek.
Taufiek menjelaskan, impor baja untuk jenis slab, billet, dan bloom pada tahun 2020 sebanyak 3.461.935 ton, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 4.664.159 ton. Penurunan impor juga terjadi pada jenis baja Hot Rolled Coil per Plate (HRC/P) yang pada tahun 2020 menjadi 1.186.161 ton dari 1.649.937 ton di tahun sebelumnya.
Sementara itu, impor untuk jenis Cold Rolled Coil per Sheet (CRC/S) turun menjadi 591.638 ton tahun 2020 dibandingkan pada 2019 yang sebesar 918.025 ton. Untuk jenis baja lapis, impornya juga turun menjadi 1.016.049 pada 2020 dari 1.276.605 ton di tahun sebelumnya.
“Penurunan impor ini diyakini berkontribusi kepada surplus neraca perdagangan Indonesia, namun surplus perlu dipertahankan ke depan dengan menjaga keseimbangan supply demand baja nasional untuk menarik investasi. Yang harus dipastikan dengan rata-rata peningkatan kebutuhan nasional 5% per tahun, pasar mampu memenuhinya dengan prioritas berasal dari industri dalam negeri,” jelas Taufiek.
Lebih lanjut, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada kuartal III tahun 2021, sektor industri logam dengan HS 72-73 mampu tumbuh di atas 9,82%. Kinerja ini juga didukung ekspor produk baja hingga November 2021 mencapai USD19,6 miliar dan mengalami surplus sebesar USD6,1 miliar.
owo – neraca.co.id